BAB I
PENDAHULUAN
I.I
Latar Belakang
Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada
awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya
sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa
akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin
dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.
Dengan kata lain, kapitalis gagal meningkatkan harkat hidup
orang banyak terutama di negara-negara berkembang. Bahkan menurut Joseph E.
Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika dekade 90-an karena keserakahan
kapitalisme ini. Ketidakberhasilan secara penuh dari sistem-sistem ekonomi yang
ada disebabkan karena masing-masing sistem ekonomi mempunyai kelemahan atau
kekurangan yang lebih besar dibandingkan dengan kelebihan masing-masing.
Kelemahan atau kekurangan dari masing-masing sistem ekonomi tersebut lebih
menonjol ketimbang kelebihannya.
Karena kelemahannya atau kekurangannya lebih menonjol
daripada kebaikan itulah yang menyebabkan muncul pemikiran baru tentang sistem
ekonomi terutama dikalangan negara-negara muslim atau negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sistem ekonomi syariah.
Negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim mencoba untuk mewujudkan suatu
sistem ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist, yaitu sistem ekonomi
Syariah yang telah berhasil membawa umat muslim pada zaman Rasulullah
meningkatkan perekonomian di Zazirah Arab. Dari pemikiran yang didasarkan pada
Al-quran dan Hadist tersebut, saat ini sedang dikembangkan Ekonomi Syariah dan
Sistem Ekonomi Syariah di banyak negara Islam termasuk di Indonesia.
Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan
perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi
Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi
sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang
mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem
ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk
mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat
di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak
semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman
hidup tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah
di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat
nanti. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia
dengan kebutuhan untuk akhirat.
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam
1.
Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa
penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
2.
Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia
adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi
seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi
yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
3.
‘Adalah, merupakan bagian yang integral
dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah
dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah
harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan
kebutuhan (need
fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Sistem Ekonomi Islam atau syariah sekarang ini sedang banyak
diperbincangkan di Indonesia. Banyak kalangan masyarakat yang mendesak agar
Pemerintah Indonesia segera mengimplementasikan sistem Ekonomi Islam dalam
sistem Perekonomian Indonesia seiring dengan hancurnya sistem Ekonomi
Kapitalisme. Makalah ini akan menjelaskan penerapannya pada perekonomian
Indonesia.
I.II
Tujuan Penulisan
.II.I sebagai
penyelesaian salah satu tugas mata kuliah Ekonomi Syariah
I.II.II sebagai
pengetahuan tentang prinsip Ekonomi Syariah.
I.II.III sebagai
pengetahuan tentang penerapan ekonomi syariah.
I.III
Rumusan Masalah
I.III.I Apa
saja prinsip dasar ekonomi syariah.
I.III.II Bagaimana
penerapan hukum ekonomi syariah.
I.III.III Bagaimana
penerapan ekonomi syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam
Sistim keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan bagian
dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana
dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam
ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan
Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial.
Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan
muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik
investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga
itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut
secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan
oleh Islam.
Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena agama lain
tidak dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari,
Islam dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterpretasikan ke dalam
praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran
Islam, perilaku individu dan masyarakat diarahkan ke arah bagaimana cara
pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya
yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam Ekonomi Islam sehingga
implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dengan ekonomi
tradisional. Oleh sebab itu, dalam Ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang
berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Dalam Ekonomi Islam, berbagai
jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada
manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam
produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri
sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan
tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi
dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor
produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat,
dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah,
apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3. Kekuatan penggerak utama Ekonomi
Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual,
penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan
Allah SWT dalam Al Qur’an: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang
dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…’ (QS 4 : 29).
4. Pemilikan kekayaan pribadi harus
berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk
nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkap kan
bahwa, ‘Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari
penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…’
(QS 57:7).Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan
Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli
dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
5. Islam menjamin kepemilikan
masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak.
Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya
hak yang sama atas air, padang rumput dan api” (Al Hadits). Sunnah Rasulullah
tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan
produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara.
Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan
industri tidak boleh dikuasai oleh individu.
6. Orang muslim harus takut kepada
Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an sebagai berikut: ‘Dan
takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian
masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak
teraniaya…’ (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang
berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua
bentuk diskriminasi dan penindasan.
7. Seorang muslim yang kekayaannya
melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan
alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan
harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang
membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua
setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets),
termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata,
pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10%
(sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.
8. (Islam melarang setiap pembayaran
bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari
teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an
secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal
ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut dari
QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.
Ringkasnya beberapa prinsip ekonomi syariah adalah sebagai
berikut :
1. Riba
Riba
secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis
riba berarti pengambilan dari harta pokok atau modal secara batil (Antonio,
1999). Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba. Namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.
2. Zakat
Zakat
merupakan instrumen keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan
kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak
berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin atau sama-sama kaya.
Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam bentuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslimin mampu menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam bentuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslimin mampu menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
3. Haram
Sesuatu
yang diharamkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah sesuai yang telah
diajarkan dalam Alquran dan Hadist. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa
praktek dan aktivitas keuangan syariah tidak bertentangan dengan hukum Islam,
maka diharapkan lembaga keuangan syariah membentuk Dewan Penyelia Agama atau
Dewan Syariah. Dewan ini beranggotakan para ahli hukum Islam yang bertindak
sebagai auditor dan penasihat syariah yang independen.
Aturan tegas mengenai investasi beretika harus dijalankan. Oleh karena itu lembaga keuangan syariah tidak boleh mendanai aktivitas atau item yang haram, seperti perdagangan minuman keras, obat-obatan terlarang atau daging babi. Selain itu, lembaga keuangan syariah juga didorong untuk memprioritaskan produksi barang-barang primer untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.
Aturan tegas mengenai investasi beretika harus dijalankan. Oleh karena itu lembaga keuangan syariah tidak boleh mendanai aktivitas atau item yang haram, seperti perdagangan minuman keras, obat-obatan terlarang atau daging babi. Selain itu, lembaga keuangan syariah juga didorong untuk memprioritaskan produksi barang-barang primer untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.
4. Gharar dan
Maysir
Alquran
melarang secara tegas segala bentuk perjudian (QS. 5:90-91). Alquran
menggunakan kata maysir untuk perjudian, berasal dari kata usr (kemudahan dan
kesenangan): penjudi berusaha mengumpulkan harta tanpa kerja dan saat ini
istilah itu diterapkan secara umum pada semua bentuk aktivitas judi.
Selain mengharamkan judi, Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi. Hukum Islam menetapkan bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis, pengayaan diri melalui permainan judi harus dilarang.
5. Takaful
Selain mengharamkan judi, Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi. Hukum Islam menetapkan bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis, pengayaan diri melalui permainan judi harus dilarang.
5. Takaful
Takaful
adalah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa arab kafala, yang berarti
memperhatikan kebutuhan seseorang.Pada hakikatnya, konsep takaful didasarkan
pada rasa solidaritas, responsibilitas, dan persaudaraan antara para anggota
yang bersepakat untuk bersama-sama menanggung kerugian tertentu yang dibayarkan
dari aset yang telah ditetapkan. Dengan demikian, praktek ini sesuai dengan apa
yang disebut dalam konteks yang berbeda sebagai asuransi bersama (mutual
insurance), karena para anggotanya menjadi penjamin (insurer) dan juga yang
terjamin (insured).
2. Penerapan
Hukum Ekonomi Syariah
Dalam sejarahnya upaya penerapan hukum syari’ah atau hukum
islam di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan semenjak masa perjuangan
kemerdekaan bangsa. Dimana kita ketahui sendiri memang motor perjuangan
kemerdekaan kita saat itu banyak didominasi oleh pejuang-pejuang muslim yang
memegang teguh prinsip-prinsip hukum syari’ah. Perjuangan tersebut memang tidak
secara frontal dilakukan, tapi lebih banyak kepada upaya-upaya politis yang
berbasis pada kelompok dan budaya. Sayangnya kemudian upaya-upaya tersebut
terbentur dengan kekuasaan politik pemerintah Hindia-Belanda pada masa
penjajahannya secara sistematis terus mengikis pemberlakuan hukum syari’ah di
tanah-tanah jajahannya. Hingga pada gilirannya kelembagaan-kelembagaan baik
yang telah ada maupun yang kemudian dibentuk baik itu lembaga peradilan,
perserikatan, dan lainnya pada masa itu mulai meninggalkan nilai-nilai hukum
syari’ah dan mulai terbiasa menerapkan aturan hukum yang dibentuk pemerintah
Hindia-Belanda yang saat itu disebut Burgerlijk Wetbook yang tentunya jauh dari
nilai-nilai syari’ah. Sehingga jelas saja kagiatan-kegiatan atau
perkara-perkara peradilan yang bersinggungan dengan syari’ah saat itu belum
memiliki pedoman yang sesuai dengan nurani masyarakat muslim kebanyakan.
Disadari atau tidak kondisi tersebut diatas tetap bergulir
hingga kurun waktu dewasa ini. Dalam prakteknya di lapangan, terlebih pada
lembaga peradilan kita, sebelum adanya amandemen UU No 7 tahun 1989, penegakkan
hukum yang berkaitan dengan urusan perniagaan ataupun kontrak bisnis di
lembaga-lembaga keungan syari’ah kita masih mengacu pada ketentuan KUH Perdata
yang ternyata merupakan hasil terjemahan dari Burgerlijk Wetbook peninggalan
jajahan Hindia-Belanda yang keberlakuannya sudah dikorkordansi sejak tahun
1854.. Sehingga konsep perikatan dalam hukum-hukum syari’ah tidak lagi berfungsi
dalam praktek legal-formal hukum di masyarakat.
Menyadari akan hal tersebut, tentunya kita sebagai muslim
patut mempertanyakan kembali sejauh mana penerapan hukum syari’ah dalam setiap
aktivitas kehidupan kita, terlebih pada hal-hal yang terkait dengan
aktivitas-aktivitas yang bernafaskan ekonomi syari’ah yang telah jelas
disebutkan bahwa regulasi-regulasi formil yang menaungi hukumnya masih mengakar
pada penerapan KUH Perdata yang belum dapat dianggap syari’ah karena masih
bersumber pada Burgerlijk Wetbook hasil peninggalan penjajahan Hindia-Belanda.
Sejalan dengan perkembangan pesat sistem ekonomi syari’ah
dewasa ini berbagai upaya-upaya sistematis dilakukan oleh pejuang-pejuang
ekonomi syari’ah pada level atas untuk kemudian memuluskan penerapan hukum
ekonomi syari’ah secara formal pada tatanan payung hukum yang lebih diakui pada
tingkat nasional. Tentunya upaya-upaya ini tidak lepas dari aspek politik hukum
di Indonesia. Proses legislasi hukum ekonomi syari’ah pun sudah sejak lama
dilakukan dan relatif belum menemui hambatan yang secara signifikan
mempengaruhi proses perjalanannya. Hanya saja kemudian upaya-upaya ini baru
sampai pada tahap perumusan Undang Undang yang mengatur aspek-aspek ekonomi
syari’ah secara terpisah, belum kepada pembentukkan instrument hukum yang lebih
nyata layaknya KUH Pidana maupun KUH Perdata yang lebih kuat.
3. Penerapan
Ekonomi Syariah
Perkembangan sistem finansial syariah yang pesat boleh jadi
mendapat tambahan dorongan sebagai alternatif atas kapitalisme, dengan berlangsungnya
krisis perbankan dan kehancuran pasar kredit saat ini, demikian menurut
pendapat para akademisi Islam dan ulama. Dengan nilai 300 miliar dolar dan
pertumbuhan sebesar 15 persen per tahun, sistem ekonomi Islam itu melarang
penarikan atau pemberian bunga yang disebut riba. Sebagai gantinya, sistem
finansial syariah menerapkan pembagian keuntungan dan pemilikan bersama.
Kehancuran ekonomi global memperlihatkan perlunya dilakukan
perombakan radikal dan struktural dalam sistem finansial global. Sistem yang
didasarkan pada prinsip Islam menawarkan alternatif yang dapat mengurangi
berbagai risiko. Bank-bank Islam tak membeli kredit, tetapi mengelola aset
nyata yang memberikan perlindungan dari berbagai kesulitan yang kini dialami
bank-bank Eropa dan AS.
Dalam kehidupan ekonomi Islam, setiap transaksi perdagangan
harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar, majhul, dharar,
mengandung penipuan, dan yang sejenisnya. Unsur-unsur tersebut diatas, sebagian
besarnya tergolong aktifitas-aktifitas non real. Sebagian lainnya mengandung
ketidakjelasan pemilikan. Sisanya mengandung kemungkinan munculnya
perselisihan. Islam telah meletakkan transaksi antar dua pihak sebagai sesuatu
yang menguntungkan keduanya; memperoleh manfaat yang real dengan memberikan
kompensasi yang juga bersifat real. Transaksinya bersifat jelas, transparan,
dan bermanfaat. Karena itu, dalam transaksi perdagangan dan keuangan, apapun
bentuknya, aspek-aspek non real dicela dan dicampakkan. Sedangkan sektor real
memperoleh dorongan, perlindungan, dan pujian. Hal itu tampak dalam instrumen-
instumen ekonomi berikut:
1. Islam telah menjadikan
standar mata uang berbasis pada sistem dua logam, yaitu emas dan perak. Sejak
masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, mata uang Islam telah
dicetak dan diterbitkan (tahun 77 H). Artinya, nilai nominal yang tercantum
pada mata uang benar-benar dijamin secara real dengan zat uang tersebut.
2. Islam telah
mengharamkan aktifitas riba, apapun jenisnya; melaknat/mencela para pelakunya. Allah
SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang
beriman” QS Al Baqarah 278. Berdasarkan hal ini, transaksi riba yang tampak
dalam sistem keuangan dan perbankan konvensional (dengan adanya bunga bank),
seluruhnya diharamkan secara pasti; termasuk transaksi-transaksi derivative
yang biasa terjadi di pasar-pasar uang maupun pasar-pasar bursa.
Penggelembungan harga saham maupun uang adalah tindakan riba.
3. Transaksi spekulatif,
kotor, dan menjijikkan, nyata-nyata diharamkan oleh Allah SWT, sebagaimana
firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamr, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaithan” (QS Al maidah 90).
4. Transaksi perdagangan
maupun keuangan yang mengandung dharar/bahaya (kemadaratan), baik bagi individu
maupun bagi masyarakat, harus dihentikan dan dibuang jauh-jauh.
5. Islam melarangAl- Ghasy,
yaitu transaksi yang mengandung penipuan, pengkhianatan, rekayasa, dan
manipulasi.
6. Islam melarang
transaksi perdagangan maupun keuangan yang belum memenuhi syarat-syarat
keuangan yang belum sempurnanya kepemilikan seperti yang biasa dilakukan dalam
future trading.
Seluruh jenis transaksi yang dilarang oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya ini tergolong ke dalam transaksi-transaksi non real atau dzalim yang
dapat mengakibatkan dharar/bahaya bagi masyarakat dan negara, memunculkan high
cost dalam ekonomi, serta bermuara pada bencana dan kesengasaraan pada umat
manusia. Sifat-sifat tersebut melekat dalam sistem ekonomi kapitalis dengan
berbagai jenis transaksinya. Konsekuensi bagi negara dan masyarakat yang
menganut atau tunduk dan membebek pada sistem ekonomi kapitalis yang dipaksakan
oleh negara-negara Barat adalah kehancuran ekonomi dan kesengsaraan hidup.
BAB III
KESIMPULAN
Ekonomi islam atau ekonomi syariah saat ini sedang ramai di
perbincangkaan, bahkan sudah banyak masyarakat menginginkan penerapannya pada
perekonomian indonesia. Penerapan ekonomi islam sendiri menurut saya merupakan
perbaikan perekonomian Indonesia, dengan segala prinsip-prinsip yang
mengaturnya.
Seperti yang kita ketahui, jenis transaksi yang dilarang
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya ini tergolong ke dalam transaksi-transaksi non
real atau dzalim yang dapat mengakibatkan dharar/bahaya bagi masyarakat dan
negara, memunculkan high cost dalam ekonomi, serta bermuara pada bencana dan
kesengasaraan pada umat manusia. Sifat-sifat tersebut melekat dalam sistem
ekonomi kapitalis dengan berbagai jenis transaksinya. Konsekuensi bagi negara
dan masyarakat yang menganut atau tunduk dan membebek pada sistem ekonomi
kapitalis yang dipaksakan oleh negara-negara Barat adalah kehancuran ekonomi
dan kesengsaraan hidup. Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan lagi
keinginan masyarakat tentang penerapan ekonomi syariah pada perekonomian
Indonesia ini.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar